Materi Darul Arqam Dasar

 


MATERI PEGANGAN PESERTA DAARUL ARQAM DASAR
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

1. Sejarah Singkat Muhammadiyah

Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”

Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata ”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu:

Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland,
dan Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.
Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas Islam pernah dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.

Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga

2. KE IMM AN
suaramuhammadiyah
Home  Wawasan  Pediamu
IMM, Sejarah dan Kiprah
Suara Muhammadiyah BY SUARA MUHAMMADIYAH 15 Maret, 2021Reading Time: 2 mins read
A A
imm
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

IMM, Sejarah dan Kiprah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah meresmikan berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada 14 Maret 1964, bertepatan dengan 29 Syawal 1384. Piagam pendiriannya ditandatangai oleh Ketua PP Muhammadiyah KH Ahmad Badawi dalam sebuah resepsi yang dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta. Beberapa tokoh pelopornya antara lain: Rosyad Sholeh, Djazman Al-Kindi, Sudibyo Markus. Embrio IMM dimotori para mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam Lembaga Dakwah Muhammadiyah, yang koordinatori Margono.

Baca Juga
Muhammadiyah Himpun 32 Milyar untuk Palestina
Menghidupkan Gerak Dakwah Kelompok Jamaah Haji
Dalam peresmian itu, menurut buku Profil 1 Abad Muhammadiyah (2010) sekaligus dilakukan penandatanganan “Enam Penegasan IMM” (sumber lain: enam penegasan ini dideklarasikan dalam muktamar pertama IMM di Surakarta tahun 1956). Isinya: (1) Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam, (2) Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, (3) Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponem mahasiswa dalam Muhammadiyah, (4) Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara, (5) Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah, dan (6) Menegaskan bahwa amal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah lillahi ta’ala dan senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat.

Farid Fathoni dalam Kelahiran yang Dipersoalkan (1990) menyatakan bahwa kelahiran IMM merupakan keharusan sejarah. Beberapa faktornya antara lain: karena situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil dan pemerintahan yang otoriter, terpecah-belahnya umat Islam, tidak bersatunya insan kampus dalam kepentingan politik, melemahnya kehidupan agama dan merosotnya akhlak. Di internal, gerak Muhammadiyah yang semakin membesar, membutuhkan kader mumpuni. Gagasan menghimpun mahasiswa Muhammadiyah dalam sebuah organisasi sempat mendapat resistensi. Termasuk terkendala karena Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi terikat ikrar 25 Desember 1949, yang menyatakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam. Di Muhammadiyah juga sudah ada Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah.

Tahun 1956, menjadi tahap awal bagi embrio pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Tahun 1956, diadakan Kongres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Yogyakarta. Saat itulah, gagasan pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah kembali digulirkan. Sampai akhirnya pada 1964, berdirilah IMM sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah. Ortom merupakan organisasi atau badan yang dibentuk oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang disertai dengan bimbingan dan pengawasan, diberi hak dan kewajiban untuk mengatur rumah tangga sendiri, membina warga Muhammadiyah tertentu dan dalam bidang tertentu dengan maksud mencapai tujuan Muhammadiyah. Ortom memiliki jaringan struktur mulai dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dan kelompok atau jamaah, (LPI PP Muhammadiyah, Profil 1 Abad Muhammadiyah, 2010).

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan gerakan mahasiswa Islam yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan. Tujuan IMM adalah “mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah” (AD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Pasal 6). Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah membina para anggotanya menjadi intelektual mumpuni dan siap menjadi kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa, dan kader kemanusiaan universal. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah juga memiliki semboyan: anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual. Jargon “fastabiqul khairat” dalam logo IMM menghendaki para kadernya untuk selalu  do your best, saling berkompetisi tanpa memusuhi, saling bersinergi, membangun harmoni, dan saling bekerja sama atau kolaborasi dalam kebaikan. (ribas)

Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2020, dengan judul asli “Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah”

Berbagi Semangat Positif !
Apakah Aqidah Muhammadiyah, NU & PKS termasuk Ahlus Sunnah?
Nafis Mudrika Nafis Mudrika
5 years ago

Apakah Aqidah Muhammadiyah, NU & PKS itu dapat dikategorikan sebagai kelompok Ahlus Sunnah Wal Jama’ah? Apakah aqidah mereka selamat ataukah tidak? Apa letak perbedaannya?

Aqidah adalah pokok ajaran Islam. Layaknya sebuah bangunan yang membutuhkan pondasi, maka aqidah bagaikan pondasi agama ini. Aqidah inilah yang senantiasa ditanamkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya sebelum ajaran-ajaran yang lainnya. Salah seorang sahabat mengatakan:

“Ketika kami masih belia (usia menjelang baligh), kami belajar keimanan sebelum belajar al Qur’an, ketika kami belajar al Qur’an semakin menambah keimanan kami”. (HR. Ibn Hibban)

Aqidah adalah masalah prinsip yang harus kita pahami dengan benar. Kesalahan dalam memahami aqidah berdampak fatal. Sesat dalam aqidah bisa sesat yang lainnya. Ibarat pohon, akar yang baik membuahkan hasil yang baik. Namun akar yang rusak hanya akan membuat pohon tumbang, tak berbuah. Bicara aqidah, tentu bicara banyak hal. Adapun yang akan kita bahas di sini adalah khusus aqidah terkait sifat-sifat Allah dan ayat-ayat mutasyabihat. Mari kita cek satu-satu.

3. Aqidah Muhammadiyah

Aqidah Muhammadiyah adalah Aqidah Salaf. Prinsip penting dalam aqidah ini : Mengimani ayat-ayat mutasyabihat, dan menyerahkan maknanya kepada Allah tanpa menyerupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya dan meninggalkan makna tersurat (dhohir).

Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah terkait Iman kepada Allah & Iman kepada Kitab, dijelaskan sebagai berikut :

“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal dalam hal kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang dzat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah engkau membicarakan hal itu. (HPT Muhammadiyah 14)” Hal ini berarti Muhammadiyah menisbikan akal (mengakui kelemahan akal) dalam mencapai hakekat & sifat-sifat Allah.
“Memang Al Qur’an telah menutup pintu pemikiran dalam membicarakan hal yang tak mungkin tercapai oleh akal dengan firman-Nya yang berbunyi “Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya” (QS Syura’ 11). Diapun telah menjelaskan bahwa kekuatan akal itu terbatas dan bahwa Dia meliputi semua manusia, dalam firmanNya; “Dia tahu segala yang ada di muka dan di belakang mereka sedang pengetahuan mereka tak mungkin mendalami-Nya.” (QS Thaha 110). Bagi orang mukmin cukuplah bila mereka memikirkan segala makhluq-Nya, guna membuktikan ada-Nya, kekuasaan & kebijaksanaanNya. (HPT Muhammadiyah 15)” Hal ini berarti Muhammadiyah mengimani bahwa Allah berbeda dengan makhluq. Aqidah Muhammadiyah adalah tanzih (mensucikan Allah dari penyerupaan terhadap makhluk-Nya). Muhammadiyah menghimbau tidak membicarakan & memikirkan zat Allah serta mendorong mukmin untuk memikirkan makhluq untuk membuktikan keberadaan Allah.
“Kita wajib percaya akan hal yang dibawa oleh Nabi s.a.w. yakni Al-Qur’an dan berita dari Nabi s.a.w yang mutawattir dan memenuhi syarat-syaratnya. Dan yang wajib kita percayai hanyalah yang tegas-tegas saja, dengan tidak boleh menambah – nambah keterangan yang sudah tegas – tegas itu dengan keterangan berdasarkan pertimbangan (perkiraan), karena firman Allah: “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (Surat Yunus:36) (HPT Muhammadiyah 17). Hal ini berarti Muhammadiyah tidak berani menduga-duga tentang zat zat Allah termasuk sifat-sifat yang ada padaNya. Dengan kata lain menolak pemahaman jisim yang menetapkan & menjelaskan sifat-sifat Allah. Karena secara prinsip akal manusia tidak mampu mengkajinya kecuali manusia yang suka menduga-duga. Inilah yang dimaksud kenisbian akal.
“Adapun syarat yang benar tentang kepercayaan, dalam hal ini ialah jangan ada sesuatu yang mengurangi keagungan dan keluhuran Tuhan, dengan mempersamakan-Nya dengan makhluk. Sehingga andaikata terdapat kalimat-kalimat yang kesan pertama mengarah kepada arti yang demikian, meskipun berdasarkan berita yang mutawattir (menyakinkan), maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepada Allah dengan kepercayaan bahwa yang terkesan pertama pada pikiran bukanlah yang dimaksudkan, atau dengan takwil yang berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima.” (HPT Muhammadiyah 17-18) Hal ini berarti Muhammadiyah memegang teguh kepercayaan bahwa Allah berbeda dengan makhluq. Muhammadiyah juga mencela adanya pemikiran atau sesuatu yang dapat mengurangi keagungan Allah. Sebab Allah Maha Sempurna. Allah tidak membutuhkan makhluq. Muhammadiyah juga menegaskan untuk meninggalkan makna dhohir ataupun makna tersurat dalam ayat mutasyabihat di Al Qur’an maupun hadits sekalipun mutawatir. Muhammadiyah justru menerima takwil yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan Zat Allah.
Aqidah Muhammadiyah ini sangat sesuai dengan pemahaman Ulama’ Salaf :

Ulama Salaf ahli Hadits al-Faqih Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (102 – 189 H) berkata : “Para ulama fiqih semuanya sepakat, dari barat ke timur, untuk mengimani al-Quran dan Hadits yang dibawa oleh para perowi terpercaya tentang sifat Allah Ta’ala tanpa tafsir, penyifatan dan tasybih. Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena sesungguhnya mereka (Ahlus sunnah) tidak mensifatinya dan juga tidak menafsirkannya, akan tetapi mereka berfatwa dengan apa yang ada dalam al-Quran dan sunnah kemudian mereka diam “. (I’tiqad Ahlis sunnah, al-Lalikai : 3/432)

Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H) berkata :“Aku (Hanbal) bertanya kepada Abu Abdillah (imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, d

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELALUI BiTe Class KBA BANJARSURI BANTU GENERASI BANGSA HADAPI INDONESIA EMAS 2045

TANAMKAN KARAKTER GENERASI BANGSA MELALUI BIOSKOP DESA